Pages

Jumat, 19 Agustus 2011

Sepotong Cinta Di Rumah Panggung


Oleh: Mahmudiono
 
Perkenalanku dengan dia sebenarnya belum lama. Ia bekerja di sebuah perusaahaan terkenal yang berada di ibu kota. Perusahaan ini bergerak dibidang furnitur.  Entah kebetulan atau memang takdir mempertemukan kami. Bermula dari suatu kegiatan yang diadakan oleh induk perusahaan yang mengadakan pameran hasil karya masing-masing perusahaan. Aku ditugaskan oleh perusahaan tempat aku bekerja. Begitu juga dirinya. Aku akui ini adalah pengalaman pertama aku mengikuti kegiatan ini. Aku sibuk memberikan bimbingan kepada anak buah sebelum digelar penilaian, begitu juga dia. Aku lihat dia begitu linca, mempesona, wibawa, bersahaja dan sangat dekat dengan anak buahnya.  Sebenarnya aku ingin kenal dia, tapi gak ada keberanian. Abis ini pengalaman pertamaku.  Ya..walau aku sebenarnya gak ada modal. Aku beranikan diri untuk berkenalan. “Maaf, Neng pendamping ya?” Ia menjawab dengan santai dan senyum dan aku tanya ini dan itu. “Mas sendiri juga pendamping?” ia balik bertanya. Aku agak kikuk menjawabnya. Ia melihat aku, tapi aku tidak siap. Wajahnya enak dilihat. Ia mendampingi rekan-rekannya dari perusahaan mebel terkenal dari kota.  Rupanya ia sangat berpengalaman. Dari pameran ke pameran lain dan sudah menjuarai bebagai even. Aku beruntung sekali bertemu dengan dia. Dia pun enak diajak ngobrol. Senyum dan pancaran matanya sangat mempesona. Dia tidak sombong dan supel dalam bergaul. Dia terlihat dewasa  dari sikap dan caranya berkata. Dia memang lebih tua dari aku,  ya..dua tahun setelah aku tahu dari biodata pembimbing yang aku dapatkan dari panitia. Tapi tidak menghalangiku untuk berkenalan. Bahkan aku belajar banyak dari dia tentang segala hal. Perkenalan kami sebenarnya sangat singkat, karena sibuk dengan persiapan masing-masing. Perkenalan waktu itu tidak terpikir kalau dilanjutkan pada pertemuan berikutnya. Petemuan itu sangat berkesan buat aku, mungkin tidak buat dia.  Enta mengapa rasanya aku kepingin bertemu saja. Tapi perasaan itu berusaha aku pendam karena terlalu berharap. Dia lebih tinggi kastanya dari aku, pikirku.
            Setelah pertemuan itu kami tidak ada kontak lagi. Sibuk dengan urusan masing-masing. Selang beberapa bulan. Dian, ya itulah nama yang ia perkenalkan waktu itu. Nama yang sederhana sepadan dengan orangnya. Dian kembali hadir di saat aku benar-benar membutuhkan.  Sosok yang bisa memberikan ilmu yang lebih banyak.  Dari mana ia tahu nomor telepon perusahaan aku. Ia mengajak untuk bergabung di kegiatan yang dapat menambah pengetahuan dan skill gitulah katanya.  Tanpa pikir panjang aku terima. Aku tidak tahu apa kegiatannya. Tapi aku percaya kalau dia yang mengajak yakin baik.
            Kami akhirnya berkomunikasi intens untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Dari Hp akhirnya pertemuan ke pertemuan kami lakukan. Kegiatan ini membuat kami semakin dekat. Rasa yang semula biasa-biasa saja, kini semakin dekat dan ingin selalu ada. Rasa itu sengaja aku pendam. Dengan rasa itu aku termotivasi dan selalu ada disetiap kegiatan. Rasa itu membuat aku tenang dan damai disaat dia ada di sampingku. Waktu pertemuan yang hanya sekali sepekan sangat singkat untuk memendam rasa cinta. Aku sebenarya malu. Malu dengan rasa itu yang kembali ada. Rasa itu seharusnya ada pada usia remaja. Usiaku yang tidak remaja lagi mengapa menyimpan sejuta cinta. Mungkin ini seri kedua dari perjalanan usiaku.  Rasa itu terus aku simpan. Dia mungkin tidak menyangkah kalau aku selama ini yang setia menemani dia,  terukir rasa akung dan ingin selalu bersama. Aku memang tidak berani manyatakannya. Tapi aku nayatakan rasa itu dengan membatunya dalam setiap kegaiatan. Seakan aku terkena guna-guna atau hipnotis. Aku curahkan tenaga, waktu dan pikirannku hanya agar dia senang. Itulah yang dapat aku lakukan.
Waktu terus berjalan. Dari kegiatan ke kegiatan kami menyambung rasa yang terpendam. Sampai akhirnya rasa itu tidak dapat kami diamkan. Pada suatu pertemuan, kebetulan peserta yang lain sudah pada pulang, kami tinggal berdua di ruangan. Jantungku berdebar keras ingin ungkapkan dengan tegas, tapi masih ragu dan takut dikira mengada-ada. Aku beranikan diri tuk nayakan perasaan hatiku di depannya.  Perasaan berkecamuk  ingin ungkapkan semua. Tapi sulit. Hanya nafas yang mencoba untuk sampaikan isi hatiku kepadanya. Kata itu, walau terpenggal dan terpata-pata, aku sampaikan. Dia memandang aku, menatap mataku dengan penuh perasaan, benarkah yang aku akatakan dan mengapa itu ada. Aku dekati dia aku coba yakinkan, aku pegang tangannya. Enta perasaan apa yang ada di hatinya. Dia memandang aku dengan penuh rasa. Dia mungkin tidak percaya kalau perasaan itu terlontar dari bibirku.
Perjalanan cinta kami terasa sangat  indah. Hari-hariku berbunga. Kalimat-kalimat cinta terus mengihiasi ponsel kami. Kata mesra tak bosan kami sampaikan. Kerinduan selalu menghinggapi hati dan jiwa bila lama tidak bertemu.  Bayangan wajahnya selalu menghiasi disetiap malam dan kesendirianku menghaantarkan sang rembulan menyinari bumi.  Mimpi indah dengannya menjadikan tidurku berkesan dan mata terbuka denga senyum. Kini dia benar-benar mengaharap dapat bersama di setiap waktu. Di selah-selah kesibukan kami menyempatkan bertemu tuk melepas rasa kangen. Dari peremuan itulah kami ngobrol tentang tugas dan pekerjaan masing-masing. Cerita teman di kantor, pekerjaan yang rumit dan sebel dengan lingkungan. Pokoknya banyak yang dibicarakan. Dia sering curhat walau lewat ponselnya bahwa dia ingin aku selalu meyayanginya, “Aq ingin pean syg aq trus, bolehkh qpinta?ato qtrllu brlbihan?  ”Apa aq Gk boleh kgn?gk mau ta? yo kgn,sls kn hanya brtemu sesaat”. Dari isi sms tersebut aku mengetahui betapa besar cinta dia kepad a aku. Enta berapa puluh sms yang terkirim di ponsel aku. Berapa kata dan kalimat yang terukir dengan indah walau lewat ponselnya. Ponsel sangat membantu kami menyampaikan isi hati walau hanya untaian kata.
Kami sadar bahwa perkenalan kami sangat singkat untuk mengukur kelanjutan hubungan kami. Kami saling mengerti demi sedikit kelebihan dan kekurangan. Kami menyadari keterbatasan dan keberadaaan masing-masing. Komitemen untuk selalu saling mendukung dan memberi motivasi dalam kegiatan yang kami lakukan.  Kami seakan tidak dapat dipisahkan.
Kisah romatis kami semakin erat ketika dapat tugas dari perusahaan. Aku dan dia dikirim untuk mengikuti pelatihan di Bogor. Suasana alam yang indah membuat gelora asamara kami bergejolak. Bus mengantarkan kami menuju ke kota hujan ini. Kaca jendela bus sesekali menjadi jeda pembicaraan kami. Suasana Bus yang sesak tidak menjadi masalah. Naik turun penumpang. Kondektor yang rajin menarik kardis. Dan Pengamen yang silih berganti menperdengarkan lagu-lagu sosial dan cintanya, menjadi saksi perjalan kami menuju tempat pelatihan. Ternyata waktu begitu singkat. Bus mengantarkan kami di terminal dekat kota. Rupanya tempat pelatihan kami harus ditempuh dengan ojek. Gak papalah, yang penting nyampek. Kami pun bergegas cek in, harus ngisi administrasi. Kegembiraan kami bertambah karena perserta dari berbagai daerah. Dapat teman baru dan saling informasi. Perjalanan indah satukan hati dua manusia
Kegiatan pelatian ini rencana berlangsung tiga hari. Hari-hari aku lalui  dengan semangat. Dia selalu berdampingan dengan aku ketika menerima materi dan mengerjakan tugas-tugas. Senyum dan sorotan matanya selalu jadi penyejuk dan inspirasi aku. Waktu seakan begitu cepat. Sementara aku ingin selalu bersama. Malamnya pun tidak lepas dari curhat isi hati walalu lewat ponsel. Sampai tak terasa kegiatan itu di berakhir. Angkut mengantarkan kami ke terminal kota. Tak lama Bus kota mengantarkan kami ke kota asal. Kali ini penumpang semakin sesak. Kami naik dengan barang bawaan agak sulit mencari tempat. Hanya satu tempat duduk.. Aku duduk di belakang sela dua deret tempat duduk dari dia. Hujan mengiringi. Juga para penjaja makanan, tukang amen silih berganti. Lagu-lagunya enak dan pas kami rasakan. Rupanya Bus kali ini tidak langsung sampai kota kami. Kami harus pindah ke Bus lain. Tak jadi masalah. Rupaya perpindahan Bus membuat kami berbunga-bunga. Bus kedua yang kami tumpangi rupanya masih kosong enta berapa lama. Kami naik sehingga dapat satu tempat duduk berdampingan. Indahnya saat itu. Bus kosong ditinggal sopir dan kondektur sibuk mencari penumpang. Kami hanya bisa membatu pak sopir dengan setia tidak pindah bus. Sementara di luar penjaja makanan sibuk menjajakan barang-barangnya. Wajah mereka terlihat lelah. Mereka sangat akrab dengan kehidupan terminal yang bising, pengap dan ramai. Kami  melihat mereka sambil menunggu penumpang penuh.  Dia menatap dengan senyum khasnya. Aku pun membalasnya. Aku lihat dia begitu ceria dan ada kedamaian. Aku coba memegang tangannya. Perasaanku tidak menentu. Detak jantungku semakin kencang. Dia pun membalas menyanbut tanganku. Sorot mata yang lembut penuh tanya. Saling nanya persaan dan seberapa besarnya perasaan itu ada. “Aku tenang dekat kamu” sambil mengeratkan pengagan taganku dan sadarkan kepalahnya di pundak. “Aku pun begitu, sayang” jawabku dengan lembut sambil jempol tanganku mengelus-elus tanganya. Kami saling mengungkapkan perasaan. “Mengapa kamu suka aku?” tanya Dian lembut terdengar di telingaku. “Aku menyukaimu karena semuanya, kamu wanita yang sempurna.” Jawabku membuat dia semakin tersipu dan nyaman di dekatku.
Tak terasa, seakan semua berjalan sangat cepat. Dalam bus bak taman surga. Bunga-bunga asmara terbang bertabur dengan kata-kata indah. Di luar terdengar kondektor bersuara keras cari penumpang. Satu dua tiga penumpang mulai masuk. Kami hanya bisa berdoa agar penumpang agak lama. Mungkin sudah dibatasi waktu. Kembali  teriakan  terdengar semakin keras melalui  pengeras” Bus jurusan Kampung Rambutan segera berangkat” diulang tiga kali. Walau bus masih kosong sopir memberikan isyarat akan berangkat. Hati kecilku berharap pelan-pelan pak sopir biar kami bisa berlama-lama. Dalam kebahagiaan, dia terus mengalirkan jerat rasa lewat pori-pori tangan tuk disampaikan ke jantung berupa getaran rasa. Akhirya pada hati yang menerima kehadiran cinta. Cinta itu kini tumbuh dan bersemi walau tidak muda lagi.  Hari-hariku terasa indah Ingin rasanya memilikinya,....tapi.....?
Matahari yang dulu bersinar terang kini mendung. Bulan yang indah bersinar kini bermuram durja. Burung-burng yang dulu bersuara merdu bernyayi lagu cinta dan sayang kini sibuk membuat sangkar tanpa kesan. Kisah indah itu berlau begitu saja.  Pujian dan kata indah yang dulu perna diungkapkan kini tidak terdegar lagi. Kerinduan dan kegalauan bila tidak bertemu kini tidak lagi terasa. Ia kini bagai ditelan bumi. Ia yang dulu selalu mengisi hari-hariku kini pergi dari hatiku tanpa alasan. Ia meninggalkan kenangan indah meski berakhir menyakitkan. Aku terakhir melihat ia besama seorang laki-laki di swalayan. Saat itu aku tertegun melihat ia keluar dari berbelanja berbelanja bersama seorang lelaki yang sebaya dengan ia. Dari kejauhan mereka lebih serasi dari pada Dian berjalan dengan aku.  Saat itu aku mencoba untuk menghubungi ia lewan ponselnya tapi berkali kali tidak dijawabnya. Pagi, siang dan malam aku coba mencari sela untuk buka hatinya agar mau mendengarkan call dari aku. Sebanyak aku call sebanyak pulah aku menemukan kekecewaan. Terasa berat perpisahan ini. Hatiku hancur. Semangat hidupku seakan pudar seketika. Hari-hariku kini hanya mengenang indahnya cinta dan menyesalkan betapa kejamnya akibat cinta.  Hanya harapan yang selalu aku inginkan dari dia adalah alasan mengapa ia memutuskan begitu saja.
Lebih menyakitkan ketika ia mengirim sms yang isinya ia harus menerima lelaki pilihan orang tuanya. Bagai disambar petir. Orang yang selalu menginspirasi aku ternyata kini berpaling dengan orang lain.  Semangat hidupku turun drastis. Hidup ini seakan tidak berarti. Rupanya cinta yang pergi kini meninggalkan bekas yang dahsyat. Pekerjaanku di perusaaan semakin menurun. Penilaian kinerja oleh atasan selalu mendapat teguran.  Hingga suatu hari aku berjalan sendiri menyusuri  kegelapan  malam.  Malam semkin dingin. Higar bingar kota sudah tak terdengar. Tiba-tiba terdengar seseorang memaggil-manggil. “ Tolong, tolong, ..... Suara itu seperti suara wanita yang meronta. Aku coba mencari dari arah mana suara itu. Akhirnya aku semakin dekat dengan suara itu dan aku menemukan seorang wanita yang lemah, lemas tidak berdaya bersandar di pohon beringin tertutupi semak belukar. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat seorang wanita cantik yang aku coba lihat dari sinar HP-ku.  Wanita itu tubuhnya terikat dalam pohon beringin dan mulutnya disumbal dengan perekat hitam.
Wanita itu menangis. Kau coba menolongnya. Aku lepaskan semua ikatan dan bungkam plester yang menutup mulutnya. Aku sebenarnya tidak boleh melihat tubuhnya yang busananya banyak yang sobek. Tapi aku harus menolongya. Ia pun terlepas. Dipegang dan di betulkan  pakaian yang ada di tubuhnya sambil menagis,  sementara aku mencoba untuk menguatkan perasaanku. Ia menagis menyesali nasibnya. “Mas, terima kasih atas pertolonganya.” “Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong, Neng.” sahut aku. “Kenapa sampai terjadi seperti ini? Aku balik bertanya. Sambil kembali terisak-isak ia mencoba mengat-ingat. “Maaf mas ceritanya panjang.” “Nanti aja aku ceritakan di rumah.” Kalu boleh, aku tolong diatar ke rumah.” Di mana rumah kamu?”  di desa sebelah kampung Serayu, “Mari aku antar!”  Tubuhnya yang lemas membuat aku kasihan untuk mengantar ke rumahnya.  Aku bingung dan becampur takut. Dalam kebingunganku karena penderitaan ditinggal seseorang yang aku cintai disaat yang sama aku menolong seorang wanita cantik yang menjadi permainan cinta laki-laki. “Ya..Allah apa artinya semua ini”. Malam yang sepi. Udara malam semakin menusuk kulitku. Aku menyusuri gang ke gang kampung yang sempit. Gang kampung seperti kampung mati tak berpenghuni. Malam ini mungkin malam yang melelapkan semua penduduk kampung Serayu yang kebanyakan bekerja sebagai petani. Mungkin kelelahan seharian bekerja di sawah.  Tak terasa aku sampai rumahnya.  Rumah panggung  besar, berhalaman luas. Bunga-bunga warna-warni dan pohon-pohon rindang membuat rumah itu terlihat indah,  segar dan alami. Disamping rumah terlihat bagasi mobil yang terkunci rapat. Sepanjang jalan yang dilalui mungkin baru inilah rumah yang paling baik.  Dengan sisa-sia tenaga ia  mencoba membunyikan pagar besi depan rumahnya sambil memanggil-manggil, “Bibi..Bibi buka pintu.” Sampai berulang-ulang, baru keluarlah perempuan separuh baya, berbaju daster dan terlihat mengantuk. Melihat keadaan tuannya, bibi agak hiteris, “Neng Yanti ini kenapa Mas..?” tanya bibi kepada aku. “Ya...Bi..nanti aku ceritakan, kita masuk dulu ya.” Pinta aku. Yanti dibwah masuk rumah dan duduk di sofa panjang warna coklat tua. Bibi bergegas mengambilkan air putih. “Ini airnya dimimum dulu, biar lebih tenang.” Pinta bibi kepada Yanti. Bebrapa menit kemudian bibi kembali bertanya kepada aku. “ Ya Mas...Neng Yanti kenapa, sampai begini?” “Maaf Bi..saya kebetulan lewat jalan sekitar pabrik tebu. Saya bejalan menyusuri rel sampai tenga malam. Tiba-tiba terdengar suara tolong-tolong, mulanya saya tidak menghiraukan. Namun suara itu terus terdengar dan semakin jelas. Aku coba mencari dan aku temukan di bawan pohon randu dihalangi oleh pepohonan tebuh. Bekal cahaya HP akhirnya aku temukan Neng.............”  “ Neng Yanti.” Sahut bibi. “Ya...Neng Yanti dalam keadan terikat tanganya, tubuhnya diikatkan di pohon dan mulutnya diplester hitam. “Maaf Bi...apa yang sebenarnya terjadi saya tidak tahu, tanyakan saja sama ...Yanti.”
Tubuh Yanti masih lemas dan terlihat stres. Rupanya kejadian semalam menjadi pukulan berat bagi dirinya. Rupanya bibi khawatir ada apa-apa dengan tuannya. “Bi....maafkan aku, tidak pamitan waktu berangkat ke kampus, karena aku harus capat bertemu dengan dosen untuk bibingan. Setelah semua selesai aku pulang. Seperti biasa aku lewat jalan itu yang biasanya aman-aman saja. Sebenarnya perasaanku tidak enak setelah melewati depan pabrik tebu yang waktu itu terlihat sepi. Tiba-tiba ada dua laki-laki menggoda aku dan langsung menyekap aku di bawah ke tempat gelap dan penuh pepohonan. Aku diikat dan semua perhisannku diambil, dompet dan HP ku juga  raib.”Tapi....Neng tidak diapa-apakan?” Tanya bibi cemas. “Maunya saya diperkosa Bi...tapi aku meronta dan melawan, sampai akhirnya ada .......Mas......” “Andi” jawab aku. “Syukurlah Neng selamat.” “Bibi mengucapkan terima kasih ya...Mas Andi yang sudah menolong Neng Yanti, Bibi tidak bisa membayangkan seandainya tidak ada Mas Andi.” “Sudahlah Bi.....biasa saja, semuakan kebetulan saja.” Jawab Andi dan pamit pulang. “Saya pamit pulang.” “Lho jangan pulang dulu,  tak buatkan kopi susu.” Yanti pun melarang Andi pulang. Bibi masih membuatkan kopi di dapur, Yanti dan Andi saling mengenalkan. “Mas Andi dari mana dan mau kemana?”  Tanya Yanti. “ Rumahku di kampung Serayu 5 km dari sini dan aku tidak tahu harus ke mana.” Dengan suara lembut dan pelan ia terus ingin tahu tentang aku. “Kamu punya masalah?” Aku terdiam enggan menjawab. “kenapa aku salah menanyakan itu?” Gak papa kalau tidak berkenan”
Aku akhirnya berterus terang kepadanya. Mungkin ini ada baiknya, barang kali ada tempat curhat. “Aku baru saja ditinggalkan oleh kekasihku, yang sangat aku cintai. Enta kenapa, ia pergi dan berlalu bergitu saja. Hatiku sakit, hancur. Makanya sejak kemarin aku tidak pulang, berjalan ke mana kakiku melangka dan aku nuruti kata hatiku. Hingga bertemu dengan kamu.” Sejenak setelah Aku cerita, suasana menjadi hening. Yanti mungkin kasihan atau ada perasaan lain. Aku lega mengungkapkan, walau mungkin tidak tepat kepada siapa aku cerita. “Kenapa diam?” tanyaku. “Gak..gak  papa” jawab Yanti tersipu. Dan senyum manisnya sedikit mulai terlihat. Akhirya aku pamit pulang. Tiba-tiba tanganku ditarik ketika aku berdiri. “Malam-malam begini pulang, apa tidak....,tidak nginap di sini saja.” Sorotan matanya membuat aku kasihan dan mulai menyukainya. Enta mengapa pegangan tangannya membuat hatiku yang mulai mati, kini bersemi kebali. Getaran itu mengalir pelan dari darah dan ke jantungku. Apakah ini cinta? Mungkinkah aku ditemukan penggantiku yang mengkhianati aku. Aku takut tersakiti lagi. Aku tidak bisa membayangkan lebih sakit lagi bila ia nanti mencampakkan aku. Aku diam berpikir tak sadar memandangi dia yang memegang tanganku. Terpaksa aku duduk lagi bercerita kesama ke mari sampai terdengar suara burung  pipit dan kokok ayam ternyata hari pagi.
Bibi yang setia menemani aku duduk di kursi sebela tidak jauh dari tempat kami duduk tertidur pulas. Rupanya cerita semalam membuat benih-benih cinta itu tumbuh. Bibi terbagun dan segera membuka jendela dan pergi ke dapur membuatkan makanan untuk sarapan. Mata Yanti yang kalup itu belum juga mengantuk. Tampaknya ia tidak mau aku tinggalkan. “Yan...itulah panggilanku kepadanya dengan akrap. “Kamu mandi supaya segar?” pinta aku. “Mas Andi istirahat dulu di sini jangan pulang ya?” singkat cerita hubungan aku dengan Yanti semakin dekat. Kedua orang tuanya sudah mengerti dan merestui kami walau masih berada di luar negeri. Aku sering berbicara dengan keduanya. Walau belum melihat rupa kedua oang tua Yanti, aku percaya bahwa mereka orang tua yang baik dan mencintai anaknya. Mungkin hanya karena tugas dan pekerjaan yang mengharuskan Yanti harus berpisah dengan kedua orang tuanya sejak duduk di bangku menenga atas.  Hari-hariku beruba dua ratus derajat. Aku selalu merindukannya. Dihatiku hanya ada dia. Walau hatiku perna berlabu Dian, kini dia sudah bagian dari masa laluku.  Dalam kesendirian malam sebelum aku tidur, ku selalu sempatkan untuk mengirim SMS kepada Yanti hanya ucapkan selamat tidur. Tiba-tiba HP-ku bergetar aku lihat ternyata pesan dari Dian. Aku kaget dan bertaya dalam hati, ada apa dia kirim pesan ke aku. HP itu aku pegang, lama aku hanya pandangi. Ada perasaan malas, sebal juga ingin tahu. Akhirnya aku buka. Isi pesan itu adalah “ Mas Andi aku pingin ketemu.”  Pesan  itu langsung aku hapus. Tapim mengapa pesan itu terus membayang dipikiranku. Apakah aku harus bertemu. Mungkin ada pesan lain yang ia sampaikan. Atau hal lain. Pesan kedua dikirim lagi. “ Mas, mungkin Mas Marh, tapi tolong ushakn ad waktu untuk bertemu. Aku tunggu di Warung Sate utara alun2 kota jm:18.” Pikiranku semakin kacau. Dian ngajak bertemu sedangkan Yanti ngajak makan bersama di rumahnya.  Setelah aku berpikir, aku putuskan untuk menemui Dian.
Ternyata Dian sudah menunggu sepuluh menit lebih cepat. Aku usahakan tenang dan hilangkan perasaan yang perna ada.  Aku temuinya. “Hai...da lama nunggu?” tanyaku. “Gak baru aja Mas.” Gimana kabar Mas?” tanya Dian. “Baik-bail aja. “Kamu sendiri gimana?” Dian terdiam sambil tanganya mengaduk-aduk sendok es yang telah dipesan. “Aku minta maaf telah melukai hati Mas, semua karena kedua orang tuaku. Lelaki yang dijodohkan dengan aku terlibat dalam pengedar narkoba dan sekarang dipenjara. Dian menunduk meneteskan air mata sambil meremas-remas tisu sampai hancur. “Gak papa semua telah berlalu, sekarang kita lupakan masa lalu kita. Hatiku sudah ada yang mengisi setelah luka teriris  kau campakkan. Tapi aku sudah melupakan dan memaafkan kamu. Kita  berteman aja. “ Apakah Mas tidak mau menerima aku lagi.” Tanya Dian. “Maaf  sudah ada yang menyayangi aku dengan tulus.” Dian diam sejenak dan tidak kuasa meneteskan air mata. Kuusap air matanya dengan sapu tanganku. “Aku doakan Mas bahagia hidup dengannya, aku berharap kita bersaudara. Ajak main ke rumah ya..Mas?” “Ya...kita tetap saudara, nanti pasti aku ajak ke rumah kamu.”
Perjalanan cintaku dengan Dian sudah berakhir. Aku hanya merajut cinta yang tulus dengan Yanti. Sampai akhirnya aku menikah dengan Yanti. Hidup kami bahagia. Kebahagiaanku semakin  terasa ketika kami dikaruniai dua putra yang lucu-lucu. Sedangkan dengan Dian keluarga kami seperti saudara. Kami saling kunjung dan saling bersilaturrohim.  TMT. Dion72.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More